Alexander
B. Koroh
Widyaiswara
Badan Diklat Prov NTT
Berpulangnya pak Ben Mboi ke pangkuan Bapa di surga pada Senin, 22 Juni
2015 mengejutkan khalayak Indonesia, lebih khususnya NTT. Kepergian tokoh
nasional ini mendapat ucapan belangsungkawa yang mendalam dan penghormatan yang
tulus pada aras nasional dan lokal. Pada tataran NTT, mungkin dapat dikatakan
provinsi ini berhutang pada pak Ben dan istrinya (ibu Naf) yang meninggalkan
buah tangan mereka yang hebat dalam membangun NTT selama 10 tahun (1978-1988).
Keberhasilan pak Ben dalam memenej NTT pada periode penugasannya tidak saja
mendapat apresiasi dari pemerintah saat itu, tetapi lebih dari itu juga menarik
perhatian internasional yang ditandai oleh penghargaan Ramon Magsaysay tahun
1988, yang diberikan oleh Pemerintah Filipina.
Bukan gubernur biasa
Merujuk pada buku otobiografi, Ben Mboi, Dokter, Prajurit, dan Pamong
Praja, tampak bahwa pak El Tari gubernur pada periode sebelumnya, seorang
gubernur visioner yang hebat telah melihat bahwa Ben Mboi muda sebagai kepala
Dinas Kesehatan memiliki potensi yang hebat untuk menggantikan El Tari sebagai
gubernur NTT. Ketajaman dan kecerdasan El Tari dalam melihat potensi diri Ben
Mboi, memang tidak sia-sia, karena pak Ben berhasil menunjukkan pada Indonesia,
bahkan dunia bahwa ia adalah gubernur yang luar biasa. Pertanyaannya mengapa
Ben Mboi bisa menjadi salah satu tokoh NTT bahkan Indonesia?
Pak Ben adalah seorang pembaca yang hebat. Tampaknya, almarhum semasa
hidupnya menjalankan betul prinsip leaders
are readers (pemimpin adalah pembaca). Testimoni yang diberikan ibu Mary
Izaac-Frans sebagai salah seorang pengurus PKK di bawah pimpinan ibu Naf (waktu
menjadi ketua PKK Prov. NTT), bahwa di kamar tidur pak Ben dan ibu Naf
berhamburan buku-buku yang sedang terbuka yang telah, sedang, dan akan dibaca.
Dan karena ibu Naf sangat percaya pada bawahannya, kadang ibu Naf, meminta
mereka untuk mengambil sesuatu langsung di kamar tidurnya, degan satu
persyaratan bahwa posisi buku-buku yang berhamburan dan terbuka tidak boleh
diutak-atik, karena sedang dibaca. Testimoni lainnya, disampaikan pak Albert
Funai, pensiunan pejabat eselon II dari lingkup Pem Prov. NTT yang pernah
menjadi ajudan pak Ben ketika sedang menjabat sebagai gubernur. Menurut pak Al
buku-buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris selalu dibawa pak Ben ketika
bertugas ke luar daerah, buku-buku tadi dibaca pada saat dalam perjalanan di
mobil ataupun ketika di pesawat terbang.
Hasrat pak Ben untuk membaca dan belajar sangat kuat, hal ini terlihat
jelas, setelah menyelesaikan masa baktinya di NTT, beliau memilih untuk kursus
tentang pemerintahan di Belanda dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika beliau memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas. Sebagaimana
diungkapkan secara tepat oleh pak Herman Musakabe Gubernur periode 1993-1998, “
Bagi saya, almarhum merupakan sosok pemimpin hebat yang lengkap atau paripurna.
Beliau tidak saja seorang dokter, melainkan anggota TNI yang memiliki pikiran
yang sangat bagus tentang provinsi ini. Semasa menjadi gubernur, almarhum
memiliki banyak gagasan besar…(Timex, 24/6/15). Oleh karena itu, adalah sangat
tepat bila pak Ben juga disebut sebagai “Guru bagi semua”, sebab pengetahuan
dan pengalamannya yang luas dan mendalam dalam banyak hal, khususnya dalam
bidang pemerintahan. Karena ini pula pada tahun 1990an Prof. DR. Ryaas Rasyid,
Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) saat itu, meminta beliau untuk menjadi
dosen luar biasa di IIP Jakarta.
Tambahan pula beliau secara rutin turun ke desa-desa (blusukan) dan
melihat secara langsung sambil memotivasi masyarakat dalam menjalankan program
ONH, ONM, ONS dan OBD. Seiring dengan itu, pak Ben juga membangun hubungan yang
sangat baik dengan pihak pers.
Pemimpin visioner yang tidak
primordial
Karena pengetahuan dan pengalamannya yang luas, banyak pihak menilai pak
Ben bukanlah pemimpin daerah yang yang mengutamakan kepentingan etnis, suku,
dan agama tertentu. Drs. Ruben Izaac (mantan Sekda TTS) bercerita, pada tahun 1980an
awal ketika menjadi ajudan pak Ben, suatu ketika beliau bertanya pada pak
Ruben, “Beni kamu sudah sarjana atau belum?” “Sudah pak, sarjana Tata Negara
dari Undana.” Jawab pak Ruben. “Sarjana kok jadi ajudan, kamu siap ya untuk
jadi camat.” Tak lama kemudian Drs. Ruben Izaac dilantik menjadi Camat Kupang
Selatan. Di sini tampak jelas bahwa pak Ben bukan saja tidak primordial tetapi
juga bukan tipe pemimpin yang hanya mengumbar janji. Fakta ini juga menunjukkan
bahwa pak Ben adalah individu yang berintegritas.
Pada bagian lain, pada tahun 1980an, dalam suatu sambutan pada saat
wisuda di Undana, pak Ben menegaskan bahwa, jika ingin maju setiap mahasiswa
harus menjadi sarjana plus. Sarjana plus adalah mereka yang tidak saja menguasai
bidang keserjanaannya, tetapi juga mereka yang memiliki pengetahuan yang luas
dan menguasai bahasa Inggris dengan baik. Di sinilah ketajaman visi beliau,
yang seandainya telah dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa NTT sejak saat itu hingga
saat ini, maka kita telah memiliki sumber daya manusia dengan daya saing
memadai yang dapat bersaing pada level nasional, regional, dan global.
Belajarlah dari pak Ben
Kesedihan dan kedukaan kita atas kepergian pak Ben, merupakan ekspresi
rasa sayang dan hormat kita pada beliau. Namun ini saja tidak cukup, maksudnya
kita perlu untuk meneladani berbagai hal baik yang telah dikatakan dan
dilakukannya. Kita beruntung karena kita orang NTT memiliki role model yang asli putra daerah,
karena hal ini termasuk sangat langka. Dengan melakukan berbagai teladan yang
telah diberikan almarhum dalam kehidupannya, dapat menjadikan kita sebagai
inidividu dan masyarakat yang berpengetahuan luas, tidak primordial,
berintegritas, bervisi, dan memiliki semangat juang yang terus berkobar-kobar.
Daya tahan dan ketangguhan beliau untuk tetap berkontribusi bagi bangsa dan
masyarakat Indonesia meskipun telah mengalami stroke, patut diacungi jempol. Oleh karena itu, bagi penulis,
meskipun Pemerintah telah menetapkan pak Ben sebagai Pejuang Trikora, tetapi
sesungguhnya hal kejuangan yang telah ditampilkan beliau jauh melampaui itu.
Artinya, bahwa pak Ben tetap berupaya memberikan yang terbaik dari dirinya
dalam keseluruhan hidupnya. Kondisi sebagai pensiunan, dan deraan stroke yang dialaminya tak dapat
membatasinya untuk tetap bekerja dan berkarya, bagi Indonesia dan NTT.
Tentunya, tulisan ini hanya dapat menguraikan sedikit dari kehebatan dan
keteladanan pahlawan kita dari Manggarai ini. Tetapi yang terpenting adalah
bagaimana kita dapat menginternalisasikan nilai-nilai pengabdian, kejuangan,
dan integritas yang telah diteladankan pak Ben ke dalam diri kita, kemudian
dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian
kita dapat berharap bahwa ke depan provinsi ini akan melahirkan tokoh-tokoh
hebat lainnya. Kiranya Kristus Sang Juru Selamat menerima pak Ben dalam dekapan
kasihNya yang abadi.
0 komentar:
Post a Comment