Papa yang susah
dibilangin. “Rapha (Rafa) ini sama kaya papa ya…? Susah dibilangin !
Rapha sulit kalau disuruh makan. Papa juga susah kalau dibilangin supaya
berhenti merokok. Padahal, rokok itu kan berbahaya papa...”
Oleh : Lucius W. Luly (PNS Biro Humas NTT)
Begitu ungkapan polos Rapha, anakku suatu waktu dalam
perjalanan pulang sekolah. Seperti biasa, saya selalu mengantar dan menjemputnya
ke sekolah. Rapha berusia 8 tahun, tepat tanggal 8 April 2016 lalu. Saat ini
dia duduk di kelas dua, sebuah Sekolah Dasar Swasta di bilangan Kota Kupang.
Ungkapan anak laki-lakiku itu berasa sangat menyakitkan, seperti sebuah
tamparan.
“Kalau papa merokok, sama saja papa menghisap asap.
Lebih baik papa hisap asap knalpot motor saja. Gratis dan lebih banyak asapnya.
Daripada pake beli-beli, nanti kita miskin...” lanjut Aldrick Raphael Luly
dengan suara lantang, sedikit berdialek kupang.
Siang itu udaranya memang panas. Gerahnya cukup menyiksa.
Beruntung, kami sudah mempunyai sebuah kendaraan kecil. Sedan merah tipe corolla
lift back keluaran tahun 1998 itu, masih
mempunyai Air Conditioner (AC) yang berfungsi baik. Akan tetapi, ungkapan anak
pertamaku tadi membuat suasana mobil kami berasa lebih panas. Tadinya saya
berpikir, AC mobilnya bermasalah, maklum umur kendaraan itu pun sudah sepuh.
Kutatap matanya, saat perempatan lampu merah Patung Kirab
itu. Pandangan mataku kuberikan penuh kepadanya. Tiga simpangan lagi, jatah
lampu hijau untuk arah kendaraan kami memutar ke kiri, sebelum akhirya masuk ke
area Taman Nostalgia. Kurang dari lima menit lagi, ritual penjemputan harian
itu akan berakhir di pondok peraduan kami. Perumahan Dosen Undana IV di
seputaran Jalan Ade Irma Kelurahan kelapa Lima, di situ gubuk kami.
Kami memang membiasakan diri untuk mengobrol apa saja,
terutama dengan Rapha yang memang lahir sesuai keinginan kami. Seorang anak
laki-laki, pewaris nama keturunan keluarga besarku. Keseharian di rumah pun, dia terbiasa
mengobrol dengan orang-orang dewasa. Bercengkrama bersama mertua saya. Opa dan
omanya itu adalah dua orang dosen yang sudah purna bakti. Jadi, obrolan kami
bersamanya selalu dibiasakan seperti berbicara dengan orang dewasa. Kami
menganggapnya sebagai seorang teman.
Kami membiasakan untuk terus berbicara dengannya sejak
dalam kandungan. Rapha juga terbiasa berbicara sejak balita. Bertambah usianya,
dia terlihat semakin senang bercakap-cakap. Banyak sudah kosa kata yang ia
punya. Kami pun terkadang dibuat tercengang mendengarnya berbicara. Guru-guru
sekolahya tidak jarang memberi komentar serupa. Bahkan ia lebih senang
mengobrol daripada bermain tinju-tinjuan. Beberapa nama temannya sering
diceritakan suka bermain dengan kasar. Hasil amatan saya, memang teman-teman
sebayanya sangat aktif bergerak. Menurut kami, Rapha memang lebih suka berdialog.
“Kalau papa berhenti merokok, apa Rapha bisa makan
tanpa disuruh-suruh lagi?” Begitu pertanyaan usilku, ingin segera mendengar
jawabnya. Siapa tahu jawabnya ya. Bisalah kupakai cara ini benegosiasi, hehehe…
“Ya… mungkin saja,” jawabnya singkat. “Maksud Rapha bagaimana?”
sahutku ingin segera mendapatkan jawaban pastinya.
“Ya… Rapha pikir-pikir dulu ya papa. Tapi, menurut
Rapha, sebaiknya papa berhenti merokok sudah ya? Kata mama, jantung papa bisa
tidak kuat lagi. Rapha sudah ingatkan ya? Kalau papa sakit nanti, Rapha biarin.
Rapha tidak mau tolong papa” ajaknya lagi sambil menatap mata saya.
Peringatan berhenti merokok itu memang bukan yang
pertama diucapkannya. Keane (4 tahun), adiknya pun pernah mengingatkan.
Terutama saat mereka menangkap basah saya merokok di teras kecil rumah. Saat
bermain bersama di rumah, Rapha dan Keane memang senang mengajak saya juga.
Mereka akan tahu tempat nongkrong saya di teras itu. Mereka pun akan tahu kalau
saya masih merokok, belum benar-benar lepas dari candu batangan beracun itu.
“O… ternyata papa masih merokok. Katanya mau berhenti
merokok. Papa bohong mama…” Begitu teriak serempak mereka, segera melapor
kepada mamanya yang memang benci dengan perokok. Maklum, mama mereka juga
seorang dokter.
Saat menulis cerita ini, kami telah memiliki seorang
putra lagi. Archer Gabriel Luly, 4 bulan sudah umurnya kini. Ya, tiga orang
sudah putra kami. Ibunya akan menjadi wanita tercantik bagi kami berempat,
selamanya. Saya berkeinginan menjadi ayah juga suami terbaik bagi mereka. Saya
harus berhenti merokok. Tidak cukup hanya mengurangi.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengumumkan maksud saya
itu. Yah… saya harus berhenti merokok saat ini juga. Tidak besok atau nanti.
Saya tidak ingin tiga putra kami meniru perilaku buruk saya itu. Saya juga
tidak ingin membebani mereka dengan ribuan efek asap beracun itu.
Kehadiran tiga putraku sudah membuktikan kalau saya
benar-benar jantan. Cukup sudah saya dibodohi dengan jejalan aneka iklan. Tidak
boleh lagi tertipu dengan kesan maco pria perokok. Anak-anak saya harus
terlindungi zat jahanam itu. Saya tidak ingin berakhir seperti Mr.Mc Laren,
Marlboro man (bintang iklan Marlboro) yang meninggal di usia 51 tahun karena
kanker paru-paru.
“Take care of
the children. Tobacco will kill you, and I am living proof of it.” Kurang
lebih seperti itu pesan terakhirnya sebelum meninggal.
Kupang, 13 April 2016.
Waktu itu….
0 komentar:
Post a Comment